I.
PENDAHULUAN
Di sepanjang sejarah
telah bermunculan para nabi benar dan para nabi palsu, yakni orang-orang yang
mengklaim dirinya sebagai nabi secara dusta. Oleh karena itu, kita di sini akan
membahas konsep kenabian dengan harapan menjadi jelas mana nabi benar dan mana
nabi palsu.
Secara pendekatan logikal terdapat empat klasifikasi yang dapat
dibedakan dari orang-orang yang mengklaim dirinya dengan kenabian, di mana
empat kemungkinan ini diperoleh dari gejala dan fenomena berikut ini; para nabi
dalam ucapannya benar atau bohong, dan benar serta bohong ini dapat dinisbahkan
dari sisi pelaku dan juga dari sisi perbuatan itu sendiri. Dengan kata lain
para pengklaim kenabian: 1) Terdapat padanya kebaikan perbuatan (fi’li) dan
pelaku perbuatan(fâ’ili), 2) atau keduanya tidak dimiliki, 3) atau
pertama dimiliki dan kedua tidak dimiliki, 4) atau pertama tidak dimiliki dan
kedua dimiliki.
Kondisi ketiga, yakni kenabian mempunyai kebaikan fi’li dan
tidak mempunyai kebaikan fâ’ili tidak terjadi dalam sejarah.
Kondisi pertama, berdasarkan satu landasan mempunyai realitas dan banyak para
nabi berdatangan disepanjang sejarah di mana mereka memiliki kebaikan fâ’ili (pelaku
perbuatan) dan juga memiliki kebaikan fi’li (perbuatan). Para
nabi agama Ibrahimi dapat dikategorikan dalam kelompok ini. Kondisi kedua juga
tanpa diragukan mempunyai sampel dan contoh, serta ada kemungkinan sesudah ini
juga masih terjadi. Para nabi dusta dan palsu yang kebohongan mereka adalah
jelas, seperti Musailamah Al-Kadzdzab, Mirza Ghulam Ahmad dan
pembid’ah-pembid’ah lainnya. Kondisi keempat, yakni seseorang menyangka bahwa
dirinya benar-benar mendapat tugas dari Tuhan dan pesan Tuhan harus ia
sampaikan pada seluruh masyarakat dunia.
II.
RUMUSAN
MASALAH
1. Pengertian
wahyu dan kenabian ?
2. Bagaimana
urgensi, tugas kenabian ?
3. Bagaiamana
Misi dan Sifat kenabian?
III.
PEMBAHASAN
1. Pengertian wahyu dan kenabian
A. Wahyu
Wahyu
berasal dari kata arab al-wahy (الو حى), dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa
asing. Kata itu berarti suara, api dan kecepatan. Di samping itu ia juga
mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Al-wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara
tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih di kenal dalam arti” apa
yang di sampaikan Tuhan kepada nabi-nabi”. Dalam kata wahyu dengan demikian
terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihanya agar di teruskan
kepada umat manusia untuk di jadikan pegangan hidup. Sabda Tuhan mengandung
ajaran, petunjuk dan pedoman yang di perlakukan umat manusia dalam perjalanan
hidupnya baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Dalam islam wahyu atau
sabda Tuhan yang di sampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w terkumpul semuanya
dalam al-Qur’an.
Penjelasan
tentang terjadinya komunikasi antara tuhan dan nabi-nabi, di berikan oleh
al-Qur’an sendiri. Salah satu ayat dalam surat Asy-Syura’ menjelaskan:
* $tBur tb%x. A|³u;Ï9 br& çmyJÏk=s3ã ª!$# wÎ) $·ômur ÷rr& `ÏB Ç!#uur A>$pgÉo ÷rr& @Åöã Zwqßu zÓÇrqãsù ¾ÏmÏRøÎ*Î/ $tB âä!$t±o 4 ¼çm¯RÎ) ;Í?tã ÒOÅ6ym ÇÎÊÈ
51.
Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata
dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir[1347] atau
dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan
seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha
Bijaksana.
(Q.S
Asy Syura’42-51)
Adanya
komunikasi antara oarang-oarang tertentu dengan Tuhan bukanlah hal yang ganjil.
Oleh karena itu adanya dalam islam wahyu dari Tuhan kepada Nabi Muhammad Saw,
bukanlah pula suatu hal yang tidak dapat diterima akal.
Sebagai
telah disebut wahyu yang di sampaikan Tuhan kepada NabiMuhammad s.a.w, melalui
jibril mengambil bentuk Al-Qur’an Ayat-ayat Al-Qur’an dengan demik[1]ian
merupakan sabda Tuhan bukan hanya dalam isi, tetapi juga dalam kata-katanya.
Dengan kata lain, teks Arab yang mengandung isi dan arti-arti itu adalah di
wahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad s.a.w, melalui jibril. Sebagai kata Seyyed
Hossein Nsar “baik jiwa maupun kata-kata, baik isi maupun bentuknya”
adalah suci dan diwahyukan.[2]
Dikalangan
kaum orientalis yang menulis tentang islam, soal wahyu yang di sampaikan kepada
Nabi Muhammad s.a.w. ini juga banyak di bahas. Salah satu dari mereka, Tor
Andrae, menjelaskan bahwa terdapat dua bentuk wahyu, pertama wahyu yang di
terima melalui pendengaran (auditory) dan kedua, wahyu yang di terima melalui
penglihatan (visual). Dalam bentuk pertama wahyu meupakan suara yang berbicara
ke telinga ataupun ke hati seorang Nabi. Dalam bentuk kedua wahyu merupakan
pandangan dan gambar, terkadang jelas sekali, tetapi biasanya samar-samar.
Dalam penerimaan wahyu, Nabi Muhammad, demikian Tor Andrae selanjutnya, termasuk
tipe pertama, tipe pendengaran. Wahyu didiktikan kepada beliau oleh suara yang
menurut keyakinan beliau berasal dari jibril. Selanjutnya Tor Andre membawa
ayat al Qur’an untuk mempekuat uraian di atas.
w
õ8ÌhptéB
¾ÏmÎ/
y7tR$|¡Ï9
@yf÷ètGÏ9
ÿ¾ÏmÎ/
ÇÊÏÈ
¨bÎ)
$uZøn=tã
¼çmyè÷Hsd
¼çmtR#uäöè%ur
ÇÊÐÈ
#sÎ*sù
çm»tRù&ts%
ôìÎ7¨?$$sù
¼çmtR#uäöè%
ÇÊÑÈ
§NèO
¨bÎ)
$uZøn=tã
¼çmtR$ut/
ÇÊÒÈ
16. Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk
(membaca) Al Quran Karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya[1532].
17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
18. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka
ikutilah bacaannya itu.
19. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
penjelasannya.
.(Q.S. Al
Qiyamah 16-19)
Dalam
hubungan ini Dr. M. Abdullah Diraz menulis bahwa antara penerimaan wahyu oleh
Nabi Muhammad s.a.w. dan penerimaan ilham oleh penyair dan filosof terdapat
perbedaan. Pada penyair dan filosof terdapat terlebih dahulu dalam diri mereka
ide dan kemudian barulah ide itu di ungkapkan dalam kata-kata. Sebaliknya dalam
diri Nabi tidak ada ide sebelumnya. Nabi mendengar suara yang jelas tanpa ada
ide yang mendahului ataupun bersamaan datangnya dengan kata yang di ucapkan.
Nabi Muhammad sendiri pada mulanya merasa terperanjat karena di ketika beliau
ingin menangkap kata-kata yang di dengar beliau merasa dirinya dipaksa untuk
mengucapkan kata-kata yang di wahyukan itu.
Maka
yang di wahyukan dalam islam bukanlah hanya isi tetapi juga teks Arab dari
ayat-ayat sebagai terkandung dalam al-Qur’an dalam teks Arabnya dari Tuhan
bersifat absolut.
Dengan
lain kata yang diakui wahyu dalam islam adalah teks Arab al-Qur’an sebagai yang
diterima Nabi Muhammad s.a.w. dari jibril. Kalau dirubah susunan kata ataupun
di ganti kata dengan sinonimnya, itu tidak lagi wahyu. Itu sudah merupakan
penafsiran dari ayat al-Qur’an. Penafsiran bukanlah wahyu, tetapi adalah hasil
ijtihat atau pemikiran manusia.[3]
Konsepsi islam tentang wahyu adalah bahwa
kehendak ilahi selalu akan di ungkapkan dalam bentuk komunikasi yang jelas dan
pasti, dari Allah melalui rasulnya. Wahyu Allah yang di turunkan pada nabi
ibrahim, musa, daut, isa, adalah sesuai dengan masing” zamanya. Sedang al-quran
sebagai wahyu terakhir yang di turunkan Allah kepada nabi muhammad SAW
merupakan pengulangan, koreksi, pelengkaap, dan penyempurna dari wahyu-wahyu
yang pernah di turunkan sebelumnya.
Tuhan
yang menuntun manusia-dalam kenyataan seluruh tuntunan Allah melimpah ke
seluruh makhluk melalui sejumlah jalan. Di antaranya adalah naluri, intuisi,
inspirasi, dan juga mimpi para rasul. Dan petunjuk tuhan tertinggi telah di
wahyukan melalui cara yang teramat gamblang dan kategoris. Yaitu melalui firman
tuhan yang di wahyukan melalui rasul-nya.firman tuhan, sebagaimana yang terkandung
di dalam kitab suci, berisi hukum yaitu kode (aturan) tertinggi yang mengatur
seluruh kehidupan manusia. Rosul, yang juga manusia biasa, adalah insan pertama
yang menerima wahyu tersebut dan terus mempraktekanya, dan kemudian menjadi
contoh untuk di tiru umatnya. Memang peran seorang rasul adalah membawa pesan
ilahi kepada seluruh umat manusia, menjelaskan, memerinci, menerapkan, dan
kemudian melalui proses tersebut-baik dalam lingkup kehidupan pribadi ataupun
masyarakat sehingga akhirnya cita-cita dan gagasan yang terkandung dalam wahyu
ilahi akan terwujud da atas panggung sejarah.
Titik
perhatian utama islam adalah menjadikan firman ilahi sebagai ideologi yang
menuntun transformasi masyarakat manusia di dalam kenyataan kehidupan manusia.
Diharapkan bahwa sepiritualitas akan mewarnai seluruh perubahan yang ada-yaitu
pada lubuk terdalam nurani manusia-sosial ekonomi, lembaga-lembaga politik, dan
kebijakan di masyarakat. Pemahaman ini juga mendasari konsep persamaan manusia
dan kesatuan manusia. Di dalam islam tidak ada lembaga kependetaan, atau
orang-orang terpilih.
Di hadapan tuhan, seluruh manusia sama, dan
semua tunduk di bawah hukum kuasa ilahi. Tidak seorangpun yang menempati posisi
manusia adi (supra-human) atau memiliki otoritas agama, sehingga miliki hak-hak
istimewa terhadap orang lain. Apa pun bentuk otoritasnya, semua terletak di
tangan tuhan dan rasulnya. Dan tidak satu pun, juga tidak pada ulama atau
pemerintah yang di tegakkanya, apabila ada, yang mempunyai hak untuk mengaku
sebagai wakil tuhan dan kehendak-nya. Kehendak ilahi hanya dapat di temukan
dalam kitab suci-nya, dan pada contoh perbuatan yang di lakukan rasul-nya. Yang
ini memang tersedia, dan mudah di jangkau oleh umat manusia. Kitab suci dan
rasul-nya, merupakan kriteria manusia yang di cita-citakan. Tolak-ukur inilah
yang merobek tabir eksploitasi manusia oleh manusia dalam segala bentuk, baik
yang agamis ataupun bukan, dan kemudian meletakan manusia di bawah supremasi
satu kode dan satu hukum. AL-Quran adalah pernyataan kehendak ilahi yang
terakhir-yaitu kode penuntun bagi ummat manusia. Ummat islam, yaitu masyarakat
ummat beriman, merupakan gambaran sekumpulan orang yang setia kepada kitab suci
tersebut. Yaitu mereka yang mempercayainya, yang tegak di bawah aturannya, dan yang
mengembangkan identitas diri di bawah titahnya.[4]
B.
Kenabian
Secara
etimologi nabi berasal dari kata
na-baartinya di tinggikan, atau dari kata na-ba artinya berita. Dalam hal ini
seorang Nabi adalah seorang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah swt, dengan
memberinya berita (wahyu). Sedangkan kenabian itu artinya penunjukan atau
pemilihan Allah, terhadap salah seorang dari hambanya-Nya dengan memberinya
wahyu. sedangkan arti temologis Nabi aadalah manusia biasa yang mendapatkan
keistimewaan menerima wahyu dari Allah Swt. Di aatara para abi ada yang di
amanatkan unutuk menyampaiakn wahyu yang diteriumanya, kepada umat manusia.
Nabi yang demikian itu di sebut Rasul.
Dalam
agama islam beriman kepada para Rasul dan para Nabi adalah salah satu dari rukun iman. Al Qur’an surah
al-Baqarah(2:77) mengatakan .
*
}§ø©9
§É9ø9$#
br&
(#q9uqè?
öNä3ydqã_ãr
@t6Ï%
É-Îô³yJø9$#
É>ÌøóyJø9$#ur
£`Å3»s9ur
§É9ø9$#
ô`tB
z`tB#uä
«!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$#
Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur
É=»tGÅ3ø9$#ur
z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur
tA#uäur
tA$yJø9$#
4n?tã
¾ÏmÎm6ãm
Írs
4n1öà)ø9$#
4yJ»tGuø9$#ur
tûüÅ3»|¡yJø9$#ur
tûøó$#ur
È@Î6¡¡9$#
tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur
Îûur
ÅU$s%Ìh9$#
uQ$s%r&ur
no4qn=¢Á9$#
tA#uäur
no4q2¨9$#
cqèùqßJø9$#ur
öNÏdÏôgyèÎ/
#sÎ)
(#rßyg»tã
( tûïÎÉ9»¢Á9$#ur
Îû
Ïä!$yù't7ø9$#
Ïä!#§Ø9$#ur
tûüÏnur
Ĩù't7ø9$#
3 y7Í´¯»s9'ré&
tûïÏ%©!$#
(#qè%y|¹
( y7Í´¯»s9'ré&ur
ãNèd
tbqà)GßJø9$#
ÇÊÐÐÈ
“Bukanlah menghadapkan
wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya
kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah
orang-orang yang bertakwa.”(Q.S Al Baqarah:77).
2.
URGENSI,
TUJUAN DALAM KENABIAN
a) Urgensi Nabi
Ketika
membahas tentang kenabian pertanyaan mendasar yang muncul adalah mengapa harus
ada nabi? Untuk membahas persoalan ini, dapat di lihat dari dua sudut
pendekatan, yaitu:
1.Pendekatan
Doktrinal
Dari
sudut pandang Tuhan sendir, apakah sebenarnya yang di kehendaki Tuhan dengan
menutus para nabi itu. Di lihat dari sudut pandang firman, doktrin atau
normatif, maka kedatangan kelahiran nabi-nabi dalam realitas masyarakat adalah
merupakan nikmat yang di berikan Tuhan kepada masyarakat itu sendir, agar
kehidupan masyarakat dapat berjalan seimbang, selamat dari konflik yang
menghancurkan diri mereka sendiri. Dengan kata lain, para nabi adalah suara
hati masyarakat yang harus ada, dan tidak boleh mati, karena jika dalam
masyarakt telah kehilangan hati nuraninya, atau hati nuraninya mati, maka
masyarakat itu menjadi rusak karena konflik yang terjadi sudah tidak
terkendali, yang dapat menimbulkan kekerasan dan kekacauan.
2.Pendekatan
Historis
Apakah
memang kehadiran para nabi di perlukan dalam realitas kehidupan suatu
masyarakat, sehingga Tuhan perlu mengutusnya untuk masyarakat itu. Jika di
lihat dari konteks social, maka sejarah menjelaskan bahwa pada saat kelahiaran
Nabi Muhammad SAW. Keadaan masyarakat pada waktu itu sedang di landa krisis
moral yang fundamental, yang di tandai oleh adanya perbudakan dan
penindasanyang kuat tehadap yang lemah, sehingga manusia menjadi suatu komediti
dalam pasar jual beli budak, penindasan terhadap kaum perempuan yang di bunuh
sejak di ketahui jenis kelamin, sistem politik yang di kuasai oleh fanatisme
kesukuan yang sempit, serta dengan landasan sestem ketuhanan yang memuja materi
yang di wujudkan pada penyembahan patung-patung. Krisis moral itu telah menghancurkan
kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya:social politik, ekonomi, budaya,
dan agama. Barangkali karena kenyataan itulah Nabi Muhammad SAW sendiri
menegaskan bahwa sesungguhnya ia di utus untuk menyempurnakkan budi pekerti
yang mulia masyarakatnya yang telah sakit dan berada dalam jurang kehancuran.
b) Tujuan Nabi
Di
antara para Nani yang ada yang di amanatkan untuk menyampaikan risalah yang
dibawanya. Berikut ini adalah rinciannya:
1) Sebagai
penyampai syariat rabbani manusia (Q.S AL Maidah 5;67) dan (Al Ahzab 33: 38)
2) Menjelaskan
makna nas yang diturunkan kepada umat (Q.S An Nahl 16: 44)
3) Menunutun
umat kepada kebaikan dan mewanti-wanti mereka agar menghindari keburukan. Hal
ini di tegaskan oleh rasulullah dalam sabdanya yang di riwayatkan oleh Muslim yang
artinya sebagai berikut : “ tidak ada seorang nabi pun sebelum ku kecuali di
haruskan unutuk menuntun dan menunjukkan kebaikan kepada umatnya, apa yang di
ajarkan kepada mereka dan memperingatkan akan kejahatan yang di ajarakan kepada
mereka.”
4) Mendidik
manusia dengan metode rabbani.[5]
3. MISI DAN SIFAT NABI
a. Misi
Nabi
mulai menda’wahkan misinya dengan cara rahasia pertama kali kepada kawan-kawan
karibnua ke udian kepada anggota-anggota sukunya sendiri, dan sesudah itu
dengan cara umum di dalam kota dan daerah-daerah luar kota. Dia berpegang pada
kepercayaan pada tuhan satu yang transcendent (di luar alam dunia), pada
kebangkitan dan pengadilan hari akhir. Dia mengajak para manusia untuk bertulus
ikhlas, dan bermurah hati. Dia telah mengambil langjah-langkah yang perlu untuk
memelihara melalui tulisan wahyu-wahyu yang telah di terima, dan memerintah kan
kepada pengikutnya juga untuk menghafalkannya ini semua berlansung terus
menerus sepanjang hidupnya, karena Qur’an tidak di wahyukan semua sekaligus, tetapi sepotong-sepotong
sewaktu keadaan memerlukan[6].
b. Sifat Nabi
Keutamaan sifatnya nabi
Muhammad Saw
Meskipun
para nabi itu Manusia biasa yang makan dan minum, sehat dan sakit, kwain dengan
wanita, berjalan di pasar-pasar, mengalami berbagai hal yang lazim di alami
oleh manusia, seperti lemah, tua, mati dan
sebagainya, namun mereka memiliki keistimewaan dan mempunyai sifat-sifat
yang khusus dan agung sesuai dangan kedudukannya. Sifat-sifat tersebut ialah
a) Ash
Shidiqi
Sidat
ini merupakan kelaziman bagi seorang Nabi meskipun sifat ini merupakan suatu
keharusan bagi setiap orang. Namun, karena kaitannya dengan dakwah para Nabi,
maka siaft ini merupakan sifat yang lazim, lekat pada mereka, bahakn merupakan
sifat fitriyah mereka. Karena itu ada seorang Nabipun yang melakukan perbuatan
yang sekiranya dapat menurunkan gengsi dan drajadnya, seperti berdusta,
berhianat, curang, makan harta orang lain secara batil dan sifat-sifat tercela
lainnya. Sifat-sifat tercela seperti itu tidak layak kepada oaring biasa
apalagi terhadap seorang nabi yang selalu dekat dengan Allah atau terdapat
kepada seorang Rasull yang sangat terhormat.
Dalam
firmanya di bawah ini Allah menjelaskan;
“seandainya dia
Muhammad mengada-adakan sebagian perkattan atas nama kami, niscaya benar-benar
kami pegang dia pada tangan kanannya ( kami beri tindakan sekeras-kerasnya ).
Kemudian benar-benar kami potong urat tali jantungnya. Maka tidak ada
seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi kami dari melakukan tindakan itu.
Sesunggunya al-qur’an itu benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang
bertaqwa”.(al- Haqqah 44-48 ).[7]
b)
Al-Amanah (dapat
di percaya )
Nabi adalah orang yang
dapat di percayang dalam mengemban wahyu, menyampaikan perintah-printah dan
larangan Allah kepada hamba-hambanya, tanpa di tambah atau dikurangi, tanpa di
ubah atau di ganti demi merealisasikan firman Allah.
”Orang-orang yang
menyampaikan risalah Alllah. Mereka takut kepadanya dan tiada takut kepada
seorangpun selain Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan.”(Al-Ahzab
39).[8]
c)
At Tabligh
Sifat ini hanya khusus
bagi para Rasul. Yang di maksud dengan tabligh adalah bahwa para Rasul
menyampaikan hokum-hukum Allah dan menyampaikan wahyu yang diturunkan kepada
mereka dari langit. Maka, tidak ada sedikit pun wahyu Allah yang mereka sembunyikan
meskipun dalam penyampaian itu mereka mengahdapi resiko dan tantangan dari
orang-orang jahat dan durhaka.
Al-Qur’am merekam
perkataan Nabi Nuh As sebagai berikut.
“Nuh berkata, “ Hai
kaumku, taka da padaku kesesatan sedikitpun, tetapi aku adalah utusan dari rabb
semesta alam. Aku samapaikan kepadamu amanat-amanat Robbku dan aku memberi
nasihat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui”(Al-A’raf
61-62)[9]
d) Al-Fathanah
Setiap nabi yang di
utus oleh Allah pasti memiliki kecerdasan yang tinggi, pikiran yang sempurna
dan lurus, cerdik dan cendikia. Marilah kita perhatikan firman allah dalam
menyifati kekasihnya, Ibrahim As.
“sesungguhnya telah
kami anugrahkan kepada Ibrahim kecerdasan (hidayah kepada kebenaran) sebelum(
Musa dan Harun) dan adalah kami mengetahui (keadaan) nya “(Al
Anbiya’ 51)[10]
IV.
KESIMPULAN
1)
Wahyu
Wahyu
berasal dari kata arab al-wahy (الو حى), dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa
asing. Kata itu berarti suara, api dan kecepatan. Di samping itu ia juga
mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Al-wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara
tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih di kenal dalam arti” apa
yang di sampaikan Tuhan kepada nabi-nabi”.
2)
Kenabian
Secara
etimologi nabi berasal dari kata
na-baartinya di tinggikan, atau dari kata na-ba artinya berita. Dalam hal ini
seorang Nabi adalah seorang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah swt, dengan
memberinya berita ( wahyu). Sedangkan
kenabian itu artinya penunjukan atau pemilihan Allah, terhadap salah seorang
dari hambanya-Nya dengan memberinya wahyu. sedangkan arti temologis Nabi
aadalah manusia biasa yang mendapatkan keistimewaan menerima wahyu dari Allah
Swt.
3)
Urgensi Nabi
1.Pendekatan
Doktrinal
2.Pendekatan
Historis
4) Misi
Dia
berpegang pada kepercayaan pada tuhan satu yang transcendent (di luar
alam dunia), pada kebangkitan dan pengadilan hari akhir.
5) Sifat
Nabi
e)
Ash Shidiqi
f)
Al-Amanah (dapat
di percaya )
g)
At Tabligh
h)
Al-Fathanah
V.
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang kami dapat uraikan, kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah
ini banyak kekurangan. Karena sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik Allah
SWT dan kekurangan adalah milik kita. Oleh karena itu saya mengharap kritik dan
saran yang konstruktif untuk memperbaiki makalah berikutnya. Semoga makalah ini
bermanfaat dan menambah pengetahuan
kita.
[1]
Harun Nasution, Ajal dan Wahyu dalam Islam,()Jakarta:UI Press, 1982)halm.15
[2]
Harun Nasution, Ajal dan Wahyu dalam Islam,()Jakarta:UI Press, 1982)halm.18
[3]
Harun nasution, akal dan wahyu dalam islam,(jakarta: UI Press) halm.22-23.
[4]
IRVING Thomas Ballantine, AL-QURAN
tentang akidah & segala amal-ibadah kita (jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002), Hal. 13-15.
[5]
Didiek ahmad supadie, sarjuni. Pengantar studi islam .(Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2012)Cet-2 halm.157-161.
[6]
Muhammad hamidullah, Pengantar studi Islam(Jakarta:Bulan Bintang, 1974)
halm.20-21
[7]
Muhammad AliAsh-Shabuni, Membela nabi, (Jakarta: Gema Insani Press,
1992)halm.21-22
[8]
Muhammad AliAsh-Shabuni, Membela nabi, (Jakarta: Gema Insani Press,
1992)halm.25.
[9]
Muhammad AliAsh-Shabuni, Membela nabi, (Jakarta: Gema Insani Press,
1992)halm.27
[10]
Muhammad AliAsh-Shabuni, Membela nabi, (Jakarta: Gema Insani Press,
1992)halm.31-32