Jumat, 25 April 2014

                   I.            PENDAHULUAN
Di sepanjang sejarah telah bermunculan para nabi benar dan para nabi palsu, yakni orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai nabi secara dusta. Oleh karena itu, kita di sini akan membahas konsep kenabian dengan harapan menjadi jelas mana nabi benar dan mana nabi palsu.
Secara pendekatan logikal terdapat empat klasifikasi yang dapat dibedakan dari orang-orang yang mengklaim dirinya dengan kenabian, di mana empat kemungkinan ini diperoleh dari gejala dan fenomena berikut ini; para nabi dalam ucapannya benar atau bohong, dan benar serta bohong ini dapat dinisbahkan dari sisi pelaku dan juga dari sisi perbuatan itu sendiri. Dengan kata lain para pengklaim kenabian: 1) Terdapat padanya kebaikan perbuatan (fi’li) dan pelaku perbuatan(fâ’ili), 2) atau keduanya tidak dimiliki, 3) atau pertama dimiliki dan kedua tidak dimiliki, 4) atau pertama tidak dimiliki dan kedua dimiliki.
Kondisi ketiga, yakni kenabian mempunyai kebaikan fi’li dan tidak mempunyai kebaikan fâ’ili tidak terjadi dalam sejarah. Kondisi pertama, berdasarkan satu landasan mempunyai realitas dan banyak para nabi berdatangan disepanjang sejarah di mana mereka memiliki kebaikan fâ’ili (pelaku perbuatan) dan juga memiliki kebaikan fi’li (perbuatan). Para nabi agama Ibrahimi dapat dikategorikan dalam kelompok ini. Kondisi kedua juga tanpa diragukan mempunyai sampel dan contoh, serta ada kemungkinan sesudah ini juga masih terjadi. Para nabi dusta dan palsu yang kebohongan mereka adalah jelas, seperti Musailamah Al-Kadzdzab, Mirza Ghulam Ahmad dan pembid’ah-pembid’ah lainnya. Kondisi keempat, yakni seseorang menyangka bahwa dirinya benar-benar mendapat tugas dari Tuhan dan pesan Tuhan harus ia sampaikan pada seluruh masyarakat dunia.

                II.            RUMUSAN MASALAH
1.    Pengertian wahyu dan kenabian ?
2.    Bagaimana urgensi, tugas kenabian ?
3.    Bagaiamana Misi dan Sifat kenabian?
             III.            PEMBAHASAN
1.      Pengertian wahyu dan kenabian
A.    Wahyu
Wahyu berasal dari kata arab al-wahy (الو حى), dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Kata itu berarti suara, api dan kecepatan. Di samping itu ia juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Al-wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih di kenal dalam arti” apa yang di sampaikan Tuhan kepada nabi-nabi”. Dalam kata wahyu dengan demikian terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihanya agar di teruskan kepada umat manusia untuk di jadikan pegangan hidup. Sabda Tuhan mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang di perlakukan umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Dalam islam wahyu atau sabda Tuhan yang di sampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w terkumpul semuanya dalam al-Qur’an.
Penjelasan tentang terjadinya komunikasi antara tuhan dan nabi-nabi, di berikan oleh al-Qur’an sendiri. Salah satu ayat dalam surat Asy-Syura’ menjelaskan:
* $tBur tb%x. AŽ|³u;Ï9 br& çmyJÏk=s3ムª!$# žwÎ) $·ômur ÷rr& `ÏB Ç!#uur A>$pgÉo ÷rr& Ÿ@Åöãƒ Zwqßu zÓÇrqãsù ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ $tB âä!$t±o 4 ¼çm¯RÎ) ;Í?tã ÒOŠÅ6ym ÇÎÊÈ

51.  Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir[1347] atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.


(Q.S Asy Syura’42-51)
Adanya komunikasi antara oarang-oarang tertentu dengan Tuhan bukanlah hal yang ganjil. Oleh karena itu adanya dalam islam wahyu dari Tuhan kepada Nabi Muhammad Saw, bukanlah pula suatu hal yang tidak dapat diterima akal.
Sebagai telah disebut wahyu yang di sampaikan Tuhan kepada NabiMuhammad s.a.w, melalui jibril mengambil bentuk Al-Qur’an Ayat-ayat Al-Qur’an dengan demik[1]ian merupakan sabda Tuhan bukan hanya dalam isi, tetapi juga dalam kata-katanya. Dengan kata lain, teks Arab yang mengandung isi dan arti-arti itu adalah di wahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad s.a.w, melalui jibril. Sebagai kata Seyyed Hossein Nsar “baik jiwa maupun kata-kata, baik isi maupun bentuknya” adalah suci dan diwahyukan.[2]
Dikalangan kaum orientalis yang menulis tentang islam, soal wahyu yang di sampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w. ini juga banyak di bahas. Salah satu dari mereka, Tor Andrae, menjelaskan bahwa terdapat dua bentuk wahyu, pertama wahyu yang di terima melalui pendengaran (auditory) dan kedua, wahyu yang di terima melalui penglihatan (visual). Dalam bentuk pertama wahyu meupakan suara yang berbicara ke telinga ataupun ke hati seorang Nabi. Dalam bentuk kedua wahyu merupakan pandangan dan gambar, terkadang jelas sekali, tetapi biasanya samar-samar. Dalam penerimaan wahyu, Nabi Muhammad, demikian Tor Andrae selanjutnya, termasuk tipe pertama, tipe pendengaran. Wahyu didiktikan kepada beliau oleh suara yang menurut keyakinan beliau berasal dari jibril. Selanjutnya Tor Andre membawa ayat al Qur’an untuk mempekuat uraian di atas.
Ÿw õ8ÌhptéB ¾ÏmÎ/ y7tR$|¡Ï9 Ÿ@yf÷ètGÏ9 ÿ¾ÏmÎ/ ÇÊÏÈ
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ
#sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ
§NèO ¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmtR$uŠt/ ÇÊÒÈ

16.  Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran Karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya[1532].
17.  Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
18.  Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.
19.  Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.
.(Q.S. Al Qiyamah 16-19)

Dalam hubungan ini Dr. M. Abdullah Diraz menulis bahwa antara penerimaan wahyu oleh Nabi Muhammad s.a.w. dan penerimaan ilham oleh penyair dan filosof terdapat perbedaan. Pada penyair dan filosof terdapat terlebih dahulu dalam diri mereka ide dan kemudian barulah ide itu di ungkapkan dalam kata-kata. Sebaliknya dalam diri Nabi tidak ada ide sebelumnya. Nabi mendengar suara yang jelas tanpa ada ide yang mendahului ataupun bersamaan datangnya dengan kata yang di ucapkan. Nabi Muhammad sendiri pada mulanya merasa terperanjat karena di ketika beliau ingin menangkap kata-kata yang di dengar beliau merasa dirinya dipaksa untuk mengucapkan kata-kata yang di wahyukan itu.
Maka yang di wahyukan dalam islam bukanlah hanya isi tetapi juga teks Arab dari ayat-ayat sebagai terkandung dalam al-Qur’an dalam teks Arabnya dari Tuhan bersifat absolut.
Dengan lain kata yang diakui wahyu dalam islam adalah teks Arab al-Qur’an sebagai yang diterima Nabi Muhammad s.a.w. dari jibril. Kalau dirubah susunan kata ataupun di ganti kata dengan sinonimnya, itu tidak lagi wahyu. Itu sudah merupakan penafsiran dari ayat al-Qur’an. Penafsiran bukanlah wahyu, tetapi adalah hasil ijtihat atau pemikiran manusia.[3]
  Konsepsi islam tentang wahyu adalah bahwa kehendak ilahi selalu akan di ungkapkan dalam bentuk komunikasi yang jelas dan pasti, dari Allah melalui rasulnya. Wahyu Allah yang di turunkan pada nabi ibrahim, musa, daut, isa, adalah sesuai dengan masing” zamanya. Sedang al-quran sebagai wahyu terakhir yang di turunkan Allah kepada nabi muhammad SAW merupakan pengulangan, koreksi, pelengkaap, dan penyempurna dari wahyu-wahyu yang pernah di turunkan sebelumnya.
Tuhan yang menuntun manusia-dalam kenyataan seluruh tuntunan Allah melimpah ke seluruh makhluk melalui sejumlah jalan. Di antaranya adalah naluri, intuisi, inspirasi, dan juga mimpi para rasul. Dan petunjuk tuhan tertinggi telah di wahyukan melalui cara yang teramat gamblang dan kategoris. Yaitu melalui firman tuhan yang di wahyukan melalui rasul-nya.firman tuhan, sebagaimana yang terkandung di dalam kitab suci, berisi hukum yaitu kode (aturan) tertinggi yang mengatur seluruh kehidupan manusia. Rosul, yang juga manusia biasa, adalah insan pertama yang menerima wahyu tersebut dan terus mempraktekanya, dan kemudian menjadi contoh untuk di tiru umatnya. Memang peran seorang rasul adalah membawa pesan ilahi kepada seluruh umat manusia, menjelaskan, memerinci, menerapkan, dan kemudian melalui proses tersebut-baik dalam lingkup kehidupan pribadi ataupun masyarakat sehingga akhirnya cita-cita dan gagasan yang terkandung dalam wahyu ilahi akan terwujud da atas panggung sejarah.
Titik perhatian utama islam adalah menjadikan firman ilahi sebagai ideologi yang menuntun transformasi masyarakat manusia di dalam kenyataan kehidupan manusia. Diharapkan bahwa sepiritualitas akan mewarnai seluruh perubahan yang ada-yaitu pada lubuk terdalam nurani manusia-sosial ekonomi, lembaga-lembaga politik, dan kebijakan di masyarakat. Pemahaman ini juga mendasari konsep persamaan manusia dan kesatuan manusia. Di dalam islam tidak ada lembaga kependetaan, atau orang-orang terpilih.
 Di hadapan tuhan, seluruh manusia sama, dan semua tunduk di bawah hukum kuasa ilahi. Tidak seorangpun yang menempati posisi manusia adi (supra-human) atau memiliki otoritas agama, sehingga miliki hak-hak istimewa terhadap orang lain. Apa pun bentuk otoritasnya, semua terletak di tangan tuhan dan rasulnya. Dan tidak satu pun, juga tidak pada ulama atau pemerintah yang di tegakkanya, apabila ada, yang mempunyai hak untuk mengaku sebagai wakil tuhan dan kehendak-nya. Kehendak ilahi hanya dapat di temukan dalam kitab suci-nya, dan pada contoh perbuatan yang di lakukan rasul-nya. Yang ini memang tersedia, dan mudah di jangkau oleh umat manusia. Kitab suci dan rasul-nya, merupakan kriteria manusia yang di cita-citakan. Tolak-ukur inilah yang merobek tabir eksploitasi manusia oleh manusia dalam segala bentuk, baik yang agamis ataupun bukan, dan kemudian meletakan manusia di bawah supremasi satu kode dan satu hukum. AL-Quran adalah pernyataan kehendak ilahi yang terakhir-yaitu kode penuntun bagi ummat manusia. Ummat islam, yaitu masyarakat ummat beriman, merupakan gambaran sekumpulan orang yang setia kepada kitab suci tersebut. Yaitu mereka yang mempercayainya, yang tegak di bawah aturannya, dan yang mengembangkan identitas diri di bawah titahnya.[4]

B.                   Kenabian
Secara etimologi  nabi berasal dari kata na-baartinya di tinggikan, atau dari kata na-ba artinya berita. Dalam hal ini seorang Nabi adalah seorang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah swt, dengan memberinya berita (wahyu). Sedangkan kenabian itu artinya penunjukan atau pemilihan Allah, terhadap salah seorang dari hambanya-Nya dengan memberinya wahyu. sedangkan arti temologis Nabi aadalah manusia biasa yang mendapatkan keistimewaan menerima wahyu dari Allah Swt. Di aatara para abi ada yang di amanatkan unutuk menyampaiakn wahyu yang diteriumanya, kepada umat manusia. Nabi yang demikian itu di sebut Rasul.
Dalam agama islam beriman kepada para Rasul dan para Nabi adalah  salah satu dari rukun iman. Al Qur’an surah al-Baqarah(2:77) mengatakan .
* }§øŠ©9 §ŽÉ9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr Ÿ@t6Ï% É-ÎŽô³yJø9$# É>̍øóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm ÍrsŒ 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4qŸ2¨9$# šcqèùqßJø9$#ur öNÏdÏôgyèÎ/ #sŒÎ) (#rßyg»tã ( tûïÎŽÉ9»¢Á9$#ur Îû Ïä!$yù't7ø9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y|¹ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)­GßJø9$# ÇÊÐÐÈ
 “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.”(Q.S Al Baqarah:77).
2.        URGENSI, TUJUAN DALAM KENABIAN
a)      Urgensi Nabi
Ketika membahas tentang kenabian pertanyaan mendasar yang muncul adalah mengapa harus ada nabi? Untuk membahas persoalan ini, dapat di lihat dari dua sudut pendekatan, yaitu:
1.Pendekatan Doktrinal
Dari sudut pandang Tuhan sendir, apakah sebenarnya yang di kehendaki Tuhan dengan menutus para nabi itu. Di lihat dari sudut pandang firman, doktrin atau normatif, maka kedatangan kelahiran nabi-nabi dalam realitas masyarakat adalah merupakan nikmat yang di berikan Tuhan kepada masyarakat itu sendir, agar kehidupan masyarakat dapat berjalan seimbang, selamat dari konflik yang menghancurkan diri mereka sendiri. Dengan kata lain, para nabi adalah suara hati masyarakat yang harus ada, dan tidak boleh mati, karena jika dalam masyarakt telah kehilangan hati nuraninya, atau hati nuraninya mati, maka masyarakat itu menjadi rusak karena konflik yang terjadi sudah tidak terkendali, yang dapat menimbulkan kekerasan dan kekacauan.
2.Pendekatan Historis
Apakah memang kehadiran para nabi di perlukan dalam realitas kehidupan suatu masyarakat, sehingga Tuhan perlu mengutusnya untuk masyarakat itu. Jika di lihat dari konteks social, maka sejarah menjelaskan bahwa pada saat kelahiaran Nabi Muhammad SAW. Keadaan masyarakat pada waktu itu sedang di landa krisis moral yang fundamental, yang di tandai oleh adanya perbudakan dan penindasanyang kuat tehadap yang lemah, sehingga manusia menjadi suatu komediti dalam pasar jual beli budak, penindasan terhadap kaum perempuan yang di bunuh sejak di ketahui jenis kelamin, sistem politik yang di kuasai oleh fanatisme kesukuan yang sempit, serta dengan landasan sestem ketuhanan yang memuja materi yang di wujudkan pada penyembahan patung-patung. Krisis moral itu telah menghancurkan kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya:social politik, ekonomi, budaya, dan agama. Barangkali karena kenyataan itulah Nabi Muhammad SAW sendiri menegaskan bahwa sesungguhnya ia di utus untuk menyempurnakkan budi pekerti yang mulia masyarakatnya yang telah sakit dan berada dalam jurang kehancuran.
b)   Tujuan Nabi
Di antara para Nani yang ada yang di amanatkan untuk menyampaikan risalah yang dibawanya. Berikut ini adalah rinciannya:
1)      Sebagai penyampai syariat rabbani manusia (Q.S AL Maidah 5;67) dan (Al Ahzab 33: 38)
2)      Menjelaskan makna nas yang diturunkan kepada umat (Q.S An Nahl 16: 44)
3)      Menunutun umat kepada kebaikan dan mewanti-wanti mereka agar menghindari keburukan. Hal ini di tegaskan oleh rasulullah dalam sabdanya yang di riwayatkan oleh Muslim yang artinya sebagai berikut : “ tidak ada seorang nabi pun sebelum ku kecuali di haruskan unutuk menuntun dan menunjukkan kebaikan kepada umatnya, apa yang di ajarkan kepada mereka dan memperingatkan akan kejahatan yang di ajarakan kepada mereka.”
4)      Mendidik manusia dengan metode rabbani.[5]

3.      MISI DAN SIFAT NABI
a.      Misi
Nabi mulai menda’wahkan misinya dengan cara rahasia pertama kali kepada kawan-kawan karibnua ke udian kepada anggota-anggota sukunya sendiri, dan sesudah itu dengan cara umum di dalam kota dan daerah-daerah luar kota. Dia berpegang pada kepercayaan pada tuhan satu yang transcendent (di luar alam dunia), pada kebangkitan dan pengadilan hari akhir. Dia mengajak para manusia untuk bertulus ikhlas, dan bermurah hati. Dia telah mengambil langjah-langkah yang perlu untuk memelihara melalui tulisan wahyu-wahyu yang telah di terima, dan memerintah kan kepada pengikutnya juga untuk menghafalkannya ini semua berlansung terus menerus sepanjang hidupnya, karena Qur’an tidak di wahyukan  semua sekaligus, tetapi sepotong-sepotong sewaktu keadaan memerlukan[6].
b.   Sifat Nabi
Keutamaan sifatnya nabi Muhammad Saw
Meskipun para nabi itu Manusia biasa yang makan dan minum, sehat dan sakit, kwain dengan wanita, berjalan di pasar-pasar, mengalami berbagai hal yang lazim di alami oleh manusia, seperti lemah, tua, mati dan  sebagainya, namun mereka memiliki keistimewaan dan mempunyai sifat-sifat yang khusus dan agung sesuai dangan kedudukannya. Sifat-sifat tersebut ialah
a)      Ash Shidiqi
Sidat ini merupakan kelaziman bagi seorang Nabi meskipun sifat ini merupakan suatu keharusan bagi setiap orang. Namun, karena kaitannya dengan dakwah para Nabi, maka siaft ini merupakan sifat yang lazim, lekat pada mereka, bahakn merupakan sifat fitriyah mereka. Karena itu ada seorang Nabipun yang melakukan perbuatan yang sekiranya dapat menurunkan gengsi dan drajadnya, seperti berdusta, berhianat, curang, makan harta orang lain secara batil dan sifat-sifat tercela lainnya. Sifat-sifat tercela seperti itu tidak layak kepada oaring biasa apalagi terhadap seorang nabi yang selalu dekat dengan Allah atau terdapat kepada seorang Rasull yang sangat terhormat.
Dalam firmanya di bawah ini Allah menjelaskan;
seandainya dia Muhammad mengada-adakan sebagian perkattan atas nama kami, niscaya benar-benar kami pegang dia pada tangan kanannya ( kami beri tindakan sekeras-kerasnya ). Kemudian benar-benar kami potong urat tali jantungnya. Maka tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi kami dari melakukan tindakan itu. Sesunggunya al-qur’an itu benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa”.(al- Haqqah 44-48 ).[7]
b) Al-Amanah (dapat di percaya )
Nabi adalah orang yang dapat di percayang dalam mengemban wahyu, menyampaikan perintah-printah dan larangan Allah kepada hamba-hambanya, tanpa di tambah atau dikurangi, tanpa di ubah atau di ganti demi merealisasikan firman Allah.
”Orang-orang yang menyampaikan risalah Alllah. Mereka takut kepadanya dan tiada takut kepada seorangpun selain Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan.”(Al-Ahzab 39).[8]
c)           At Tabligh
Sifat ini hanya khusus bagi para Rasul. Yang di maksud dengan tabligh adalah bahwa para Rasul menyampaikan hokum-hukum Allah dan menyampaikan wahyu yang diturunkan kepada mereka dari langit. Maka, tidak ada sedikit pun wahyu Allah yang mereka sembunyikan meskipun dalam penyampaian itu mereka mengahdapi resiko dan tantangan dari orang-orang jahat dan durhaka.
Al-Qur’am merekam perkataan Nabi Nuh As sebagai berikut.
Nuh berkata, “ Hai kaumku, taka da padaku kesesatan sedikitpun, tetapi aku adalah utusan dari rabb semesta alam. Aku samapaikan kepadamu amanat-amanat Robbku dan aku memberi nasihat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui”(Al-A’raf 61-62)[9]
d)   Al-Fathanah
Setiap nabi yang di utus oleh Allah pasti memiliki kecerdasan yang tinggi, pikiran yang sempurna dan lurus, cerdik dan cendikia. Marilah kita perhatikan firman allah dalam menyifati kekasihnya, Ibrahim As.
“sesungguhnya telah kami anugrahkan kepada Ibrahim kecerdasan (hidayah kepada kebenaran) sebelum( Musa dan Harun) dan adalah kami mengetahui (keadaan) nya “(Al Anbiya’ 51)[10]

             IV.            KESIMPULAN
1)      Wahyu
Wahyu berasal dari kata arab al-wahy (الو حى), dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Kata itu berarti suara, api dan kecepatan. Di samping itu ia juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Al-wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih di kenal dalam arti” apa yang di sampaikan Tuhan kepada nabi-nabi”.
2)   Kenabian
Secara etimologi  nabi berasal dari kata na-baartinya di tinggikan, atau dari kata na-ba artinya berita. Dalam hal ini seorang Nabi adalah seorang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah swt, dengan memberinya berita  ( wahyu). Sedangkan kenabian itu artinya penunjukan atau pemilihan Allah, terhadap salah seorang dari hambanya-Nya dengan memberinya wahyu. sedangkan arti temologis Nabi aadalah manusia biasa yang mendapatkan keistimewaan menerima wahyu dari Allah Swt.
3)   Urgensi Nabi
1.Pendekatan Doktrinal
2.Pendekatan Historis
4)      Misi
Dia berpegang pada kepercayaan pada tuhan satu yang transcendent (di luar alam dunia), pada kebangkitan dan pengadilan hari akhir.
5)   Sifat Nabi
e)         Ash Shidiqi
f)          Al-Amanah (dapat di percaya )
g)         At Tabligh
h)         Al-Fathanah
                V.            PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami dapat uraikan, kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangan. Karena sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT dan kekurangan adalah milik kita. Oleh karena itu saya mengharap kritik dan saran yang konstruktif untuk memperbaiki makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dan menambah  pengetahuan kita.





[1] Harun Nasution, Ajal dan Wahyu dalam Islam,()Jakarta:UI Press, 1982)halm.15
[2] Harun Nasution, Ajal dan Wahyu dalam Islam,()Jakarta:UI Press, 1982)halm.18
[3] Harun nasution, akal dan wahyu dalam islam,(jakarta: UI Press) halm.22-23.
[4] IRVING Thomas Ballantine, AL-QURAN tentang akidah & segala amal-ibadah kita (jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), Hal. 13-15.
[5] Didiek ahmad supadie, sarjuni. Pengantar studi islam .(Jakarta: PT Raja Grafindo, 2012)Cet-2 halm.157-161.
[6] Muhammad hamidullah, Pengantar studi Islam(Jakarta:Bulan Bintang, 1974) halm.20-21
[7] Muhammad AliAsh-Shabuni, Membela nabi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992)halm.21-22
[8] Muhammad AliAsh-Shabuni, Membela nabi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992)halm.25.
[9] Muhammad AliAsh-Shabuni, Membela nabi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992)halm.27
[10] Muhammad AliAsh-Shabuni, Membela nabi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992)halm.31-32